Merdeka.com - Minggu pagi, 19 Desember 1948, suasana Yogyakarta
di sepanjang jalan protokol masih lengang. Hanya beberapa warga dan
penduduk sekitar yang berlalu lalang untuk berdagang menuju Pasar
Beringharjo.
Bagi anggota kompi I dan II dari Markas Besar
Polisi Tentara (MBPT) yang bertugas mengawal Jenderal Soedirman, hari
minggu menjadi hari pelepas penat. Lantaran hari tersebut merupakan
pelaksanaan gencatan senjata antara Pasukan RI dan Belanda.
"Saat
itu, anggota kompi beristirahat di rumah dan beberapa Jalan Bintaran
Timur Nomor 8 yang menjadi tempat tinggal Jenderal Soedirman di
Yogyakarta. Sementara itu, Pak Dirman sedang berbaring lemah di tempat
tidur ditemani Bu Dirman, serta orang-orang terdekatnya," ujar mantan
Ajudan II Panglima Besar Jenderal Soedirman, Mayor (Purn) Pendeta Abu
Arifin, saat ditemui Sabtu (5/10).
Kondisi Jenderal Soedirman
yang lemah, membuatnya harus mendapat perawatan intensif oleh dokter
pribadinya Mayor Suwondo. Namun, kedamaian pagi itu di Yogyakarta
dikagetkan dengan melintasnya satu pesawat bomber dan pemburu 'cocor merah' milik pasukan Belanda yang menembaki beberapa bangunan secara membabi buta.
"Saat
itu ada kabar kalau pasukan TNI sedang melakukan latihan
perang-perangan di lapangan udara Maguwo sekitar pukul 06.00, tetapi
ternyata malah Belanda menerjunkan pasukannya di Maguwo. Setelah itu pesawat
perang Belanda melintas dan menembak membabi buta hingga menyebabkan
pabrik peniti, yang dikira markas tentara, di Lempuyangan hancur," tutur
Abu.
Kondisi tersebut kemudian dilaporkan komandan Kompi I
Kapten Cokropranolo yang melaporkan adanya serangan di Belanda. Usai
mendapat laporan tersebut, membuat Soedirman berusaha bangkit. "Padahal
saat itu Pak Dirman baru saja selesai operasi yang dilakukan Profesor
Asikin di Rumah Sakit Panti Winoto yang berada di dalam keraton,"
ujarnya.
Keadaan genting itu, membuat Jenderal Soedirman
mengambil langkah untuk menentukan keputusan strategis. Abu menuturkan,
akhirnya saat itu Jenderal Soedirman mengutus ajudan I Suparjo Rustam
untuk melaporkannya ke Istana presiden yang berada kurang lebih 1
kilometer dari rumah Jenderal Soedirman.
"Tetapi jarak yang
ditempuh Parjo (Suparjo Rustam) saat itu seolah-olah sangat jauh. Karena
dalam perjalanan menuju Istana, Parjo sempat mendapat tembakan berasal
dari udara yang dimuntahkan pesawat Belanda," ungkap Abu.
Namun,
saat sampai, Suparjo Rustam justru tidak bisa masuk ke dalam Istana.
Alasan saat itu, jelas Abu, karena ada beberapa pemberlakuan saat
kondisi genting di kalangan tentara.
"Saat keadaan genting, kami
diwajibkan menjalankan aturan untuk saling mencurigai satu dengan yang
lain untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan," jelasnya.
Tidak
mendapat kabar dari Supardjo Rustam, akhirnya Jenderal Soedirman
memutuskan untuk menemui Presiden Soekarno di Istana. Padahal, jelas
Abu, saat itu Soedirman dilarang untuk bepergian. Saat itu disiapkan dua
mobil, yakni satu sedan hitam dan satu mobil bak terbuka yang diisi
pasukan.
"Setelah itu, Pak Dirman menaiki mobil sedan hitam
bersama supirnya, Dirman, yang namanya memang sama dengan beliau.
Kemudian komandan pasukan pengawal Kompi I Kapten Cokropranolo berada di
sisi kiri supir dan Pak Dirman bersama Mayor Suwondo di belakang," kata
Abu yang saat itu berpangkat letnan dua.
Akhirnya, iring-iringan
pengawalan pun memasuki Istana kepresidenan. Namun sayang, Jenderal
Soedirman tidak diperkenankan menemui Presiden Soekarno yang saat itu
sedang menggelar rapat dengan pejabat menteri di dalam ruang rapat
Istana.
"Saat itu, Pak Dirman sempat meminta dipapah keluar
bangunan Istana dan berada di taman, menyaksikan pesawat bomber menembak
membabi buta. Pak Dirman sempat marah melihat kondisi itu, hingga
akhirnya, ia memanggil Noli (panggilan Cokropranolo) kembali menuju
Bintaran Timur," jelas Abu.
Saat itu Soedirman meminta Noli untuk
kembali ke rumah dinas dan membakar semua dokumen. Selain itu, Noli
diminta untuk mengantar istri dan anak-anak Soedirman ke dalam benteng
keraton. "Perintah itu kemudian dilakukan Noli dan setelah selesai
melakukan tugasnya, Noli kembali dan melapor kepada Pak Dirman. Setelah
itu, Pak Dirman memutuskan kembali ke rumah dinas di Jalan Bintaran
Timur," ujarnya.
Sesampainya di rumah, Jenderal Soedirman membuat
keputusan penting, yakni menyingkir keluar dari kota Yogyakarta bersama
pasukan pengawalnya untuk perang gerilya. Keputusan spontan ini membuat
kaget beberapa pasukannya. Namun, keputusan tersebut menurut Abu Arifin
diterima anggota pasukan yang menjadi pengawal setia Jenderal
Soedirman.
"Karena saat itu terdengar kabar, Pasukan Belanda
dibagi dua. Kedua pasukan tersebut bertugas menangkap Soekarno dan
memerintahkan menangkap Soedirman, baik hidup atau mati," jelas Abu yang
mengenakan kacamata.
Sekitar pukul 11.30 WIB pasukan berjalan
keluar wilayah Yogyakarta menuju wilayah selatan. Menurutnya, banyak
tentara yang tidak membawa bekal perlengkapan. Selain itu, juga banyak
dokumen yang dimiliki mereka terbakar untuk menghilangkan jejak. Saat
berangkat, jelas Abu, Soedirman menaiki mobil sedan hitam dan mobil
compreng.
"Pasukan saat itu menyusuri wilayah selatan Yogyakarta
mulai dari Bantul hingga Parangtritis. Saat itu, saya ingat kali pertama
istirahat dilakukan di tempat lurah Grogol namanya Pak Hadi. Di rumah
Pak Hadi, sambil istirahat, petinggi-petinggi pasukan yang dekat dengan
Pak Dirman berkumpul dan membuat rute perjalanan menuju Gunung Wilis di
Kediri. Sedangkan Pak Dirman diperiksa denyut nadinya oleh dokter
pribadinya, Dokter Suwondo," ujarnya.
Menurut Abu pilihan menuju
Gunung Wilis menjadi realistis karena ada perlengkapan komando, yakni
pemancar radio. Dari sana, menurut Abu Arifin, semua komando dari
Jenderal Soedirman disampaikan melalui pemancar. "Namun itu tidak
bertahan lama karena fasilitas pemancar ketahuan Belanda dan akhirnya
markas tersebut dibombardir," katanya.
Abu melanjutkan, setelah
dari Grogol, pasukan kemudian berjalan menuju Parangtritis. Namun, saat
itu dua kendaraan yang digunakan tidak bisa melanjutkan perjalanan
karena ada sungai besar yang membelah. "Saat itu, tidak ada jembatan di
sungai itu. Saya lupa namanya sungainya apa, tetapi yang jelas semua
kendaraan tidak bisa melintasinya. Sejak itu, perjalanan terus
dilanjutkan dengan konsekuensi Pak Dirman ditandu," ujarnya.
Perjalanan
tersebut, kemudian sampai di Desa Playen yang masih berada di wilayah
Yogyakarta. Abu menjelaskan, sesampainya di desa tersebut, Soedirman
dipinjami sado milik perkebunan. "Di sana ada sado yang dipinjamkan dari
pihak perkebunan dan bisa digunakan untuk Pak Dirman," ujarnya.
Bagi
Abu Arifin, sosok Soedirman adalah sosok jenderal pejuang yang
sebenarnya. Meski dalam keadaan sakit, Soedirman tetap berjuang demi
negaranya hingga titik darah penghabisan. "Mungkin banyak yang bertanya,
kenapa Soedirman memilih bergerilya dari pada ditangkap Belanda?
Padahal kalau ditangkap Belanda, pasti diperlakukan baik," ujarnya.
Abu
menjelaskan, pilihan Soedirman tersebut lebih dikarenakan memegang
sumpah jabatan yang diucapkan jenderal besar tersebut saat diangkat
menjadi panglima besar kali pertama yang ditulis dalam sumpahnya dan
diucapkan dalam lisan. "Dalam salah satu sumpahnya, Jenderal Soedirman
menuliskan sanggup bersedia mempertahankan negara Republik Indonesia
sampai titik darah yang penghabisan. Sumpah itu kemudian dipegangnya
selama menjadi pemimpin pasukan," tutur Abu.