|
wagethe 1974 |
Dikatakan
bahwa sejarah manusia diawali bersama-sama bahasa. Selama ini banyak
ahli antropologi yang mendefinisikan bahwa manusia adalah makhluk
pencipta alat (homo fabel). Artinya eksistensi alat atau perkakas
merupakan tanda-tanda adanya kehidupan (kebudayaan). Akan tetapi,
menurut Claude Levi-Strauss seperti dikutip oleh Maruyama (1995:43),
anggapan tersebut sekarang sudah lebih disempurnakan.
Dewasa
ini, pembatas antara alam dengankebudayaan bukan lagi didasarkan pada
eksistensi sebuah alat, tetapi didasarkan pada bahasa. Dengan kata lain,
sebelum membentuk manusia sebagai homo fabel atau homo sapiens (manusia
haus ilmu) perlu dibentuk dulu manusia homo loquens (manusia
berbahasa). Karena denga bahasa itulah manusia dapat memelihara seluruh
kebudayaannya. Kalau pada sifat alat itu tampak adanya suatu tranformasi
dari alam kepada kebuyaan, maka bahasalah alat yang paling utama yang
diciptakan manusia untuk proses tersebut, dan inilah yang memungkinkan
sumber konsep pembuatan seluruh alat-alat.
Bahasa
adalah organ physiology yang digunakan secara instingtif dan alami. Hal
ini yang membedakan inti bahasa dengan ketika kita menggunakan
paru-paru unuk bernafas atau berdiri kemudian berjalan.. Burung beo di
rumah saya mampu menirukan kata salam seperti “selamat datang” dan
menirukan kata “kamu jelek”. Tetapi Ia tidak bisa membuat kalimat bentuk
lampau atau pengandaian.
Sejak
kita lahir di alam fana ini sudah dikelilingi oleh bahasa, dibesarkan
dengan bahasa, berpikir memakai bahasa, berkomunikasi dengan orang lain
menggunakan bahasa. Karena kelekatan bahasa dengan kehidupan kita,
sering kali secara refleksi bahasa tidak dipikirkan. Dalam keadaan
seperti ini, kadang-kadang kita dibuat jengkel karena tidak mampu
memahami komunikasi dengan orang-orang yang menggunakan bahasa yang
sama. Termasuk seperti contoh penulisan sms yang kadang susah untuk
dipahami.
Dari
penjelasan di atas dapat diketahui oleh kita bagaimana hakekat bahasa
dalam kehidupan manusia. Karena di dalam bahasa tercermin sifat-sifat
kebudayaan dan oleh karena itulah, cermin kebudayaan suatu bangsa ada di
dalam bahasa bangsa tersebut.
Pada
wilayah pulau yang dulunya disebut Pulau Irian Jaya, terdapat berbagai
bahasa dan budaya yang terbanyak di Indonesia. Suku Bangsa Papua yang
memiliki wilayah yang terbentang pada 2 Propinsi yaitu Papua dan Papua
Barat dengan berbagai suku. Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255
suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut di
antaranya:
• Ansus
• Amungme
• Asmat
• Ayamaru, mendiami daerah Sorong
• Bauzi
• Biak
• Dani
• Empur, mendiami daerah Kebar dan Amberbaken
• Hatam, mendiami daerah Ransiki dan Oransbari
• Iha
• Kamoro
• Mee, mendiami daerah pegunungan Paniai
• Meyakh, mendiami Kota Manokwari
• Moskona, mendiami daerah Merdei
• Nafri
• Sentani, mendiami sekitar danau Sentani
• Souk, mendiami daerah Anggi dan Menyambouw
• Waropen
• Wamesa
• Muyu
• Tobati
• Enggros
• Korowai
• Fuyu
Di
samping memiliki kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati dan nabati,
Papua juga dikenal dengan keberagaman budayanya dan bahasanya. Belum
lagi di tambah pendatang yang banyak berasal dari Suku Jawa dan
Bugis-Makassar. Sehingga dalam pembelajaran bahasa daerah di sekolah
ditiap-tiap daerah suku pun berbeda. Tidak ada dominasi budaya suatu
suku ke suku yang lainnya secra frontal dan terbuka luas. Namun dapat
dibayangkan dampak dari konflik yang terjadi dimana potensi konflik
sangat beragam dapat terjadi mulai dari ucapan kata-kata, maupun
perbuatan maupun adat kebiasaan yang dapat ditanggapi berbeda-beda oleh
tiap individu yang berbeda suku.
B. Essensialisme sebagai akar kekerasan
Gejala
sosio-kultural tidak pernah muncul karena penyebab tunggal. Konflik dan
gejala kekerasan hari-hari ini memang bisa muncul dari ketidakberdayaan
akibat struktur politik-ekonomi dan kultural yang telah demikian
opressif, yang "sudah tak menyisakan kata-kata untuk saling memahami
lagi". Semacam reaksi perlawanan balik atas penyebab eksternal. Tapi
konflik dan kekerasan sebenarnya bisa pula dipicu oleh tendensi internal
juga, yakni oleh kerangka berpikir ontologis tertentu.
Kerangka
berpikir yang terlampau essensialistik atau substansialistik, yang
cenderung melihat identitas, kebudayaan, dan tradisi sebagai suatu
substansi utuh dengan essensi yang tetap, misalnya, mudah sekali
mengakibatkan orang menilai interaksi budaya yang saling memengaruhi
sebagai bahaya dan ancaman perusakan atas kemurnian, yang pada
gilirannya mudah melahirkan kekerasan. Apalagi bila semua itu
dilegitimasi dengan absolutisme transendental.
Terhadap
kerangka berpikir macam itu makalah ini mengandaikan, sekaligus
menawarkan, kerangka berpikir yang bersifat "relasional". Artinya,
identitas dan kebudayaan papua adalah sebuah proses yang berkembang
terus melalui proses interaksi timbal-balik semua dengan semua budaya
yang ada di papua. Identitas adalah sesuatu yang senantiasa "menjadi",
melalui segala bentuk relasi dengan yang lain di luarnya, dan dalam
berbagai konteks yang berubah.
Bahwasanya
dalam konteks tertentu relasi itu ternyata hegemonik, itu tidak mesti
menunjukkan bahwa setiap relasi dan setiap artikulasi identitas budaya
niscaya berkecenderungan hegemonik, seolah tak ada kemungkinan lain.
Relasionalitas bisa bersifat macam-macam.
Sejarah
di masa lampau menunjukkan banyak juga transaksi budaya yang tidak
disertai konflik, banyak proses artikulasi dan asimilasi identitas yang
sinkretis, alamiah dan wajar tanpa disertai kekerasan. Sering kali
unsur-unsur budaya luar dipinjam atau diadopsi karena memang dianggap
lebih bernilai, menguntungkan atau bahkan membantu artikulasi budaya
papua secara lebih memadai.
Tentu
saja orang bisa mengatakan bahwa kini situasinya lain, bahwa dominasi
kekuasaan pihak suku yang lebih berkuasa menjalankan penindasannya
justru secara persuasif dan tak disadari: dengan menciptakan struktur
keinginan dan kebutuhan, dengan pembentukan citra identitas versi
mereka, dan dengan penyebaran pemetaan teoretis ala mereka-yang dengan
pretensi deskriptif ilmiah, diam-diam sesungguhnya selalu mendudukan
mereka sendiri pada klasifikasi superior, yang lain inferior, dst dst.
Dan itulah persis cara kerja "hegemoni", penindasan yang seolah
dilakukan ’dari dalam’ diri sendiri.
Masalahnya,
ada beberapa kelemahan dari teori Hegemoni macam itu. Pertama, ia
mengandaikan seolah pengaruh pihak suku yang berkuasa terhadap suku yang
kecil itu demikian linear dan terprediksi, dan seolah pihak korban
sedemikian teralienasi dari dirinya sendiri hingga total menjadi sekadar
mesin fotokopi. Bagaimana
pun fenomena kebudayaan adalah transaksi makna dan nilai, di dalamnya
reflektivitas individu tidak hanya me-reproduksi pola-pola dari luar,
melainkan sekaligus juga menciptanya ulang sesuai kepentingan
partikularnya sendiri (mekanisme autopoiesis).
Simbol
dan ikon boleh menyebar di pasar dunia, tapi bagaimana itu dimaknai
bisa tidak sama, mudah mengalami de-territorialisasi, berubah menjadi
parodi, subversi, aksesori, dst. Tak usah heran bila huruf "M" ala MTV
di Papua menjadi simbol gerakan kemerdekaan ("M" = Merdeka !), atau kata
”padamkan lampu” di papua lebih dikenal dengan ”bunuh lampu” ataupun
beberapa istilah asli bahasa papua yang belum di mengerti oleh orang
lain. Bila istilah tersebut dilihat dan di dengar oleh pendatang di
Papua tentu agak terhera-heran bila belum mengerti maknanya sebenarnya.
C. Visioning dan Pencegahan Konflik Budaya Lokal
Fenomena
bahwa Papua akan kalah bersaing di pasar nasional jika mengandalkan
budaya, bahasa dan produk lokal merupakan hal yang kurang tepat.
Konteksnya bukan karena Bangsa Papua merupakan bangsa yang minder dalam
bidang pergaulan budaya, akan tetapi lebih disebabkan karena masyarakat
Papua harus lebih fokus dalam mempertahankan Budaya dan bahasa serta
mengembangkan produk lokal unggulannya berupa produk-produk berbasis
pengetahuan dan seni tradisional serta produk-produk yang bersumber pada
keanekaragaman hayati Papua. Kesadaran ini jelas merupakan visi yang
maju serta competitive dibandingkan dengan produk budaya masyarakat lainnya karena memiliki karakter yang jelas dan tidak dimiliki oleh budaya lain.
Sekurang-kurangnya
ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pemanfaatan warisan
budaya sebagai sumber ekonomi baru masyarakat papua.
- Pertama, Papua tidak akan kekurangan bahan baku, karena bahan bakunya melimpah, baik berupa sumber daya manusia (culture and tradition) maupun sumber daya lainnya (terutama genetic resources and biodiversity).
- Kedua, pengembangan produk berbasis warisan budaya seperti tarian atau souvenir dan lainnya, justru akan menghidupkan kembali jati diri bangsa papua yang sempat terdistorsi dengan mitos-mitos budaya pop, seperti Superman, Spiderman, Mickey Mouse, dan Donald Duck atau yang lokal nusantara seperti Tari Jaipong, Pisang Goreng Kalimantan, Replika Kapal Pinishi.
- Ketiga,
partisipasi masyarakat diharapkan akan menjangkau daerah-daerah
suku-suku yang terpencil dari kota karena sebagian terbesar pelaku
budaya justru berdomisili di daerah-daerah, di pusat-pusat kebudayaan
itu sendiri.
- Keempat,
jika pusat-pusat kebudayaan semakin terangsang untuk bangun, menggeliat
dan bergairah dalam mengembangkan khasanah warisan budaya di
daerah-daerah tersebut, pada gilirannya akselerasi ekonomi berbasis
pengetahuan tradisional dan seni dapat membantu peningkatan
kesejahteraan ekonomi dari kelompok masyarakat para pemangku dan pelaku
tradisi yang bersangkutan.
Pulau
Papua adalah pulau dengan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi
yang luar biasa. Jika kekayaan keragaman budaya dan tradisi itu dapat
dikelola dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin kebangkitan
ekonomi masyarakat papua justru dipicu bukan karena kecanggihan
teknologi, melainkan karena keindahan tradisi dan keragaman warisan
budaya itu sendiri. Konsep ini yang dikembangkan oleh negara-negara yang
memiliki budaya pariwisata.
Dalam
konteks inilah peran pengembangan pendidikan dan kebijakan pemerintah
daerah baik Kabupaten maupun Propinsi Papua, yang menjadi sangat
penting, agar pemanfaatan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru
tidak mengabaikan atau mengalienasi hak-hak masyarakat pendukungnya.
Peran pengembangan pendidikan menjadi sangat penting dalam pemanfaatan
warisan budaya agar tidak terjerumus ke dalam pusaran kerakusan kapital
yang sangat pandai mencari peluang. Peranan tersebut melalui pendidikan
dan latihan kerja serta sosialisasi kepada masyarakat untuk perbaikan
usaha.
Begitu
juga dengan peran kebijakan pemerintah daerah, yang mengatur
pengembangan budayanya agar tidak menimbulkan konflik diantara
masyarakat papau yang terdiri dari berbagai suku. Diantaranya melalui
kebijakan terhadap masyarakat adat papua, pemberdayaan dewan adat serta
Majelis Rakyat Papua. Dengan pengaturan tersebut maka persoalan perang
suku, pemekaran daerah serta pengaturan antara suku pribumi dan
pendatang tidak dapat dimasukan dalam persoalan politik baik di tingkat
lokal maupun nasional.
Untuk
itu perlunya diperkuat dan dilengkapi dengan penetapan kebijakan
pendukung oleh pemerintah daerah di wilayah Papua secara bersama
seperti:
1. Pembinaan keluarga yang sehat dan produktif
2. Pengembangan kemitraan antar Suku
3. Pengembangan Kreativitas Seni dan Budaya Populis serta original
4. Sosialisasi keunggulan budaya
5. Penataan Saluran Informasi dan Komunikasi masyarakat
D. Penutup
Meskipun
Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi-konvensi ILO yang
berkaitan dengan masyarakat adat dan pribumi, Namun bagi pemerintah
daerah Papua membuka peluang besar orang asli Papua dan Masyarakat Adat
untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses pembangunan di Tanah
Papua. Kebijakan pemberdayaan budaya lokal memberikan dasar yang kuat
bukan saja agar memprioritaskan orang asli Papua sebagai subjek
sekaligus objek pembangunan. Hanya saja, perlu dipertegas tentang luas
serta jenis hak dan budaya lokal masyarakat asli yang lebih terperinci
yang tampaknya harus dipersiapkan dan dikembangkan. Apa dan siapa orang
asli Papua serta Masyarakat Adat Papua harus diperjelas dalam peraturan
daerah pada tiap pemerintah daerah di wilayah papua. Dengan begitu,
perlindungan budaya masyarakat asli tidak sekadar menjadi nilai dasar
yang mati, melainkan benar-benar akan menjadi jaminan normatif bagi
perlindungan budaya, adat dan